Opini publik : radarpublik.net – Teori konflik dalam sosiologi apabila dapat dikelola secara cerdas memang bisa efektif. Efektif untuk apa? efektif untuk menggeliatkan upaya pemberantasan korupsi misalnya.
Sudah ada Kejaksaan, ada juga Kepolisian, dan ditambah lagi lembaga ad-hoc macam KPK. Katanya bakal ada lagi Tim Pemburu Koruptor. Manakala kasus bergeser dari pidana ke perdata maka telah tersedia Satgas Penanganan Hak Tagih Negara (terhadap BLBI contohnya).
Instrumen Kemensetneg pun diaktifkan juga untuk pengambilalihan berbagai asset negara yang selama ini diserobot para penjahat ekonomi–politik. Kasus Taman Mini Indonesia Indah misalnya.
Jadi sampai saat ini kita memang melihat keseriusan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memberantas praktek korupsi. Walau siasat beliau memang mau tidak mau mesti cerdik dalam berselancar di atas banyak ‘Jebakan Batman’ yang dipasang lawan politik maupun oleh musuh dalam selimut yang selama ini memolitisasi Jokowi maupun memolitisasi Pancasila/NKRI.
Manakala untuk suatu kasus tertentu suatu lembaga penegak hukum terlihat letoy, maka digerakkan lembaga lainnya. Semacam rivalry internal yang sehat-sehat saja, selama tujuannya sama yaitu: memberantas korupsi.
Memang tinjauannya mesti kasuistik, kasus per kasus. Lantaran setiap kasus punya keunikannya masing-masing. Unik dalam relasi dengan para penegak hukumnya, maupun memang unik dari latar belakang perkaranya. Paham khan?
Jadi jika terhadap kasus XYZ lembaga A terpantau ogah-ogahan atau masuk angin, maka tinggal pencet tombol satunya untuk menggerakkan lembaga B agar mengusut kasusnya dari dimensi yang lain. Atau kalau perlu ya mengambil alih total kasusnya.