Home » Jokowi, Greenpeace dan Prinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab! » Halaman 3

Jokowi, Greenpeace dan Prinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab!

by admin
125 views
Prabowo Ngamuk

Selain itu, hal ini sepertinya bertolak belakang dengan kebijakan utama Pemerintah Indonesia yang saat ini lebih mengutamakan laju investasi yang telah menyebabkan masifnya pembangunan kawasan industri dan infrastruktur di kawasan pesisir. Kebijakan utama ini akan mengorbankan dan merusak ekosistem mangrove yang masih ada, dan juga akan menghambat laju pertumbuhan mangrove yang sedang direhabilitasi karena rehabilitasi mangrove membutuhkan kondisi lingkungan yang baik.”

Sebuah studi dengan data yang sangat baik dari Greenpeace. Hanya saja disini tampak ada jalan pikiran menuju kesimpulan yang agak menyesatkan. Bahwa (menurut data tahun 2015) Indonesia punya lahan mangrove terbesar di dunia (hampir 3,5 juta hektar, artinya 23% ekosistem mangrove dunia!) dan sejumlah 1,8 juta hektar telah rusak.

Lalu pertanyaannya, siapa yang dulu telah merusaknya? dan apakah sekarang oleh administrasi Jokowi (2014-2019 plus 2019-2024 nanti) telah ada upaya yang serius untuk merehabilitasinya? Ini khan pertanyaan yang mudah dijawab. Begini,

Baca juga:  Kapolri Instruksikan ke Jajaran Saat PPKM Level 4: Akselerasi dan Pastikan Bansos Tepat Sasaran

Dari 1,8 juta hektar yang telah rusak, ditargetkan sampai 2024 restorasi atau rehabilitasinya mencapai 600 ribu hektar (sekitar 33%). Maka cara pandangnya adalah, bahwa arah kebijakan administrasi Jokowi yang seperti ini (merehabilitasi) adalah sejalan dengan misi Greenpeace sendiri. Sehingga kebijakan Jokowi ini mestinya terus dilanjutkan sampai rehabilitasinya bisa mencapai 100%. Bukankah begitu semestinya?

Kedua, adalah soal rehabilitasi lahan kritis. Presiden Jokowi menyebutkan, Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2010-2019. Leonard Simanjuntak (Greenpeace) mengritisinya dengan narasi:

“Capaian ini perlu dipertanyakan ulang mengingat terdapat peningkatan laju deforestasi seperti yang disebutkan sebelumnya di atas. Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Walaupun ada klaim penurunan laju deforestasi dari pemerintah dalam 2 tahun terakhir, angka itu menjadi kurang berarti karena adanya pergeseran area-area terdeforestasi dari wilayah barat ke wilayah timur (Papua).

Nasib komitmen moratorium sawit yang tidak jelas sampai saat ini menjadi sinyal perlunya peningkatan target perbaikan tata kelola hutan. Hasil analisis Greenpeace Indonesia dan The Tree Map menemukan seluas 3,12 juta ha perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan hingga akhir tahun 2019, setidaknya terdapat 600 perusahaan perkebunan di dalam kawasan hutan, dan sekitar 90.200 ha perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan konservasi.

Baca juga:  Diplomasi Senjata Retno+Prabowo Di Tokyo

Letak perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan paling luas berada di pulau Sumatera (61,5%) dan Kalimantan (35,7%). Dari kedua pulau tersebut, terdapat dua provinsi dengan ekspansi sawit terbesar yaitu provinsi Riau (1.231.614 ha) dan Kalimantan Tengah (821.862 ha). Kedua provinsi ini menyumbang dua pertiga dari total nasional.”

Ini lagi, studi dan data Greenpeace sangat bagus, hanya saja cara pandangnya jadi terkesan insinuatif (jadinya menyesatkan) jikalau kesalahan policy tentang pembukaan lahan-lahan perkebunan sawit yang “asal-asalan” seperti itu dibebankan pada administrasi Jokowi.

Related Articles