Home » EVOLUSI SEORANG PENULIS: Dari Kemampuan Narasi Hingga Perpustakaan Digital » Halaman 4

EVOLUSI SEORANG PENULIS: Dari Kemampuan Narasi Hingga Perpustakaan Digital

by admin
119 views

Ketiga, buku Jalan Demokrasi dan Kebebasan Untuk Dunia Muslim.

Buku ini mulai dengan menghindari dua kesia siaan dalam studi Islam. Tak ada gunanya mempertanyakan apakah Islam sesuai, compatible, dengan demokrasi dan kultur kebebasan.

Agama itu masalah interpretasi. Kaum Taliban meminta para muslimah menutup tubuh hingga hanya nampak mata. Progresif Muslim membiarkan wanita sholat dengan memakai jeans dan rambut terurai.

Di beberapa negara Islam, kaum LGBT dapat dipidana dan dihukum mati. Di Eropa ada masjid yang menikahkan kaum LGBT.

Semua mengaku menjalankan perintah Islam. Semua memiliki ulamanya.

Tak ada gunanya pula mendiskusikan apakah demokrasi dan kebebasan dapat tumbuh di wilayah Timur Tengah, misalnya. Sekitar 3000 tahun lalu, semua wilayah di bumi tak ada yang mengenal demokrasi dan hak asasi. Toh, kini di barat dapat tumbuh itu demokrasi dan hak asasi.

Ini semata pilihan politik. Apapun latar kulturnya, melompat saja tapi kerjakan secara bertahap sesuai dengan hukum besi politik.

Buku ini membawa proposal. Masa depan dunia Muslim adalah Hijrah menuju demokrasi dan kebebasan. Namun tak bisa langsung menuju pada demokrasi dan kebebasan. Negara Muslim perlu melewati rute seperti Indonesia. Yaitu melewati Pos dan Stasiun “Iliberal Democracy” dulu. Melewati Demokrasi Tak Liberal dulu.

Lalu dari sana bertahap menumbuhkan kultur kebebasan. Iliberal Democracy atau Demokrasi Tak Liberal hanyalah tempat singgah sementara. Ujungnya harus bermuara pada demokrasi dan kebebasan.

Baca juga:  Gerakan Tutup Mulut dan Tidak Nyiyir

Di sanalah tumbuh peradaban modern. Rangking 10 negara yang paling membuat warga bahagia, semua itu negara demokrasi dan kebebasan, dengan kesejahteraan rakyat yang tinggi.

Bahkan dalam Islamicity Index, negara yang paling membuahkan nilai islami, ternyata bukan negara Islam. Tapi negara Barat lah yang paling Islami. Negara yang memadukan demokrasi, kebebasan, ilmu pengetahuan dan kesejahteraan.

Ke sanalah negara yang mayoritasnya Muslim harus menuju.

Keempat, buku Atas Nama Cinta. Ini buku sastra pertama yang saya tulis.

Selaku aktivis, sungguh saya prihatin dengan perkembangan politik pasca tumbangnya Pak Harto. Era reformasi menyisakan diskriminasi warga negara. Untuk beberapa kasus, kekerasan atas warga Ahmadiyah dan Shiah bahkan bertambah.

Sayapun berniat mengekspresikan sisi batin isu diskriminasi. Peristiwa sebenarnya saya fiksikan. Ini semacam historical fiction. Lebih tepatnya, true story yang didramatisasi.

Tapi format puisi yang ada tak memuaskan. Saya pun menciptakan format puisi yang lebih sesuai. Saya menyebutnya puisi esai. Ini puisi sangat panjang, berbabak, layaknya cerpen atau novel singkat. Namun di sana sini penuh catatan kaki, layaknya paper ilmiah.

Catatan kaki menempati fungsi sentral dalam puisi esai. Catatan kaki itulah ibu dari kisah yang kemudian dipuisikan.

Baca juga:  Lagi-lagi Mafia Tanah: Kasus Lahan Stadion Duasudara Bitung Dobel Bayar?

Format puisi esai pun kemudian meluas. Sebanyak 176 penyair, penulis dari 34 provinsi mengisahkan local wisdom provinsi masing masing dalam puisi esai. Penyair dari negara ASEAN dan Australia mulai pula menulis puisi esai.

Bersama Hanung Bramantyo, lima puisi esai saya dalam buku Atas Nama Cinta dibuatkan film pendek. Acapkali dalam banyak kegiatan sosial, dan kelas soal kebhinekaan, film pendek ini diputar sebagai pemantik diskusi.

Di tahun 2020, puisi esai resmi masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Puisi Esai didefinisikan sebagai ragam sastra berisi kisah moral dan sosial dengan catatan kaki.

Buku Atas Nama Cinta penting karena ia memulai genre baru puisi esai. Ia juga menyumbang lahirnya kata baru puisi esai untuk masuk dalam kamus bahasa.

Related Articles