Opini Publik : radarpublik.net – Saya masih menunggu release resmi dari Kementerian Pertahanan Jepang terkait pertemuan Menhan Jepang Nobuo Kishi dan Menhan RI Letjen (pur) Prabowo Subianto. Sekitar 15 jam lalu mereka memulai pembicaraan di Tokyo.
Prabowo ada di Jepang saat ini karena besok, 30 Maret 2021, bersama-sama Menlu Retno Marsudi akan mengadakan “2+2 talks” bersama counterparts Jepang mereka: Toshimitsu Motegi (Menlu) dan Nobuo Kishi (Menhan).
Nah, pertemuan preliminary antara Menhan Prabowo dan Menhan Kishi sekitar 15 jam lalu ini, terkait geopolitik di Laut Cina Selatan.
Gara-garanya adalah, Cina di bulan Januari lalu mengintroduksi sebuah undang-undang yang membolehkan coast guard mereka menembak ke kapal asing yang berada di dalam teritori yang dianggap perairan mereka.
Dianggap? Ini memang masalahnya, karena seluruh dunia tahu “9 dash-line” itu klaim sepihak Cina saja. Bulan Februari lalu, voanews.com menurunkan artikel “China’s Coast Guard Can Fire on Foreign Vessels, Complicating Security in South Sea“
VOA menyoroti: “The National People’s Congress standing committee in Beijing passed a law January 22 that expressly lets the coast guard use force. The law prescribes “all necessary means” to stop foreign vessels, including use of weapons aboard Chinese ships… ; “Big guns” on the Chinese coast guard ships would intimidate the Southeast Asian states.”
Antara coast guard (dalil keamanan) dan angkatan laut (dalil pertahanan) keduanya berbeda makna dalam terminologi hukum internasional. Oleh karena itu, derivatif “tindakan yang dapat diambil” juga berbeda, sehingga klasifikasi persenjataannya pun berbeda. Tidak boleh ada “big guns” di kapal coast guard, bahkan BAKAMLA kita menganut prinsip “dilarang tembak duluan.”
Gampangnya, coast guard itu bukan instrumen perang, beda dengan angkatan laut.